Misi Gereja Katolik di Medan tidak bisa dilepaskan dari misi di Bangka dan Borneo. Sejak timah ditemukan di Pulau Bangka sekitar tahun 1710, hubungan Batavia dan Palembang terjalin dengan baik. Teknologi baru didatangkan dan buruh-buruh diimpor dari Cina. Pada tahun 1849 diperkirakan ada 9000 orang Cina yang berdomisili di Pulau Bangka. Sebagian kecil menjadi pemeluk agama Islam. Di antara orang Cina itu, ada yang bernama Tsen On Njie yang dibaptis menjadi Katolik di Penang pada tahun 1827. Dia tinggal di Sungaiselan – Bangka. Di sana dia menjadi dokter seraya mempromosikan iman Katolik. Dia membangun sebuah tempat ibadat dan melengkapinya dengan benda-benda rohani yang didatangkan dari Penang dan Singapura.
Sekitar tahun 1848 seorang Eropa yang beragama Katolik lewat dari depan rumah Tsen dan melihat sebuah kapel dengan atribut Katolik. Dia melaporkan keberadaan bangunan itu kepada Mgr. Vrancken di Batavia. Pada bulan Juli-Agustus 1849 Pastor Claesens, SJ mengunjungi Pulau Bangka. Dia tidak dapat berbahasa Cina ketika menemukan 60 orang calon baptis telah dipersiapkan oleh Tsen di rumahnya. Pastor Claesens, SJ menuliskan kenangan perjumpaan itu dalam sebuah laporan ke De Tijd/Noordhollandsche Courantdi Batavia. Akibatnya, Gubernur Jenderal Batavia F. van Olden menginterogasi Uskup Vrancken.
Pastor Langenhoof menjadi imam pertama yang tinggal di Sungaiselan. Dia belajar bahasa Cina di Welleslau – Penang. Tak berapa lama dia kembali ke Batavia dan pada bulan Desember 1853 dia diberi ijin untuk tinggal sebagai imam tanpa upah di Bangka untuk melayani orang-orang Cina Katolik. Pada tahun 1854 Langenhoof melaporkan statistik orang Katolik di Bangka berjumlah 156 orang. Jumlah bertambah dari tahun ke tahun. Akhirnya, pada tahun 1867 dia meninggalkan Pulau Bangka. Akibatnya, orang Katolik semakin menurun jumlahnya.
Pada tahun 1871-1876 Pastor J. de Vries diutus ke Bangka dan masih menemukan 286 orang Katolik dan bertambah hingga sebanyak 420 orang pada tahun 1879. Tak berapa lama kemudian Kortenhorst dan Jan Kusters datang ke Bangka dan berkarya di Sungaiselan. Para misionaris di Sungaiselan melayani wilayah yang sangat luas dari pantai Barat Borneo hingga Sumatera (Deli dan Palembang) dan Kepulauan Riau. Jaraknya ada sekitar 2500 km.
Pada tahun 1863 Sultan Deli menganggap seluruh tanah wilayah kekuasannya sebagai milik pribadi dan menjualnya kepada pengusaha Belanda. Seluruh tanah di daerah kesultanan Deli pelan-pelan dikuasai orang asing untuk membuka perkebunan-perkebunan kelapa sawit, tembakau, dan karet. Ribuan orang Cina didatangkan sebagai buruh di onderneming-onderneming yang terbentang antara Bukit Barisan dan Selat Malaka. Beberapa daerah mempunyai kekhasan masing-masing. Sekitar Asahan Labuhan Batu hingga Pematangsiantar ditanami pohon karet dan kelapa sawit. Daerah Deli Serdang dikenal sebagai penghasil tembakau. Itulah sebabnya pada masa itu terkenal istilah Deli Dekblad (daun pembalut Deli). Pada tahun 1863 didirikan Deli-Maatschappijyang semakin mempercepat perkembangan perkebunan tembakau. Perdagangan karet, tembakau, dan kelapa sawit yang semakin ramai membuat pelabuhan Belawan menjadi semakin terkenal. Hal ini menciptakan lapangan kerja sehingga tidak mengherankan banyak orang yang datang dan didatangkan untuk mencari kerja ke Medan termasuk kuli-kuli dari berbagai negara seperti India dan Eropa.
Kota Medan menjadi dikenal dan semakin berkembang. Pada tahun 1905 statistik menunjukkan bahwa penduduk kota Medan mencapai 15.000 jiwa. Pada tahun 1905 telah meningkat menjadi 45.000 jiwa. Pada tahun 1928 penduduknya bertambah menjadi 40.000 jiwa orang pribumi, 27.000 jiwa orang Cina, dan 4.200 jiwa orang Eropa. Pertumbuhan penduduk ini membuat kota Medan semakin diperhitungkan dalam perdagangan internasional dan misi. Pater Vries, seorang pastor di Sungaiselan, ditugaskan ke Sumatera untuk mendampingi orang-orang Eropa yang semakin banyak. Dalam tahun 1873, 1874, dan tahun 1876 dia mengunjungi orang-orang Katolik di kota Medan dan daerah-daerah perkebunan sekitarnya.
Pada tahun 1876 ada sekitar 300 orang Katolik di kota Medan termasuk tentara-tentara berkebangsaan Belanda, Inggris, dan Perancis. Keberadaan mereka ini membuat Gereja memberi perhatian khusus. Ada beberapa keluarga Katolik yang memiliki mutu religius yang tinggi seperti keluarga McIntyre dan famili de Guigne. Mereka mempunyai pegawai dan buruh yang beragama Katolik. Tidak sedikit orang-orang Cina dan Keling yang didatangkan menjadi buruh. Akan tetapi, tidak banyak yang beragama Katolik. Perjalanan Pater Vries ke lokasi penampungan para buruh membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun demikian, keadaan kualitas dan kuantitas orang Katolik di Medan belum menuntut kedatangan misionaris pada masa itu. Ditambah lagi dengan kematian Pastor de Hesselle tahun 1854 di daerah barat daya. Maka, misi Katolik belum ditujukan ke Medan.
Pada tanggal 20 Maret 1878 Pastor Claesens, SJ mengajukan permohonan untuk mendirikan satu stasi yang meliputi wilayah Sumatera’s Oostkust. Pemerintah Belanda mengijinkannya. Maka, pada tahun yang sama pemimpin Gereja Katolik di Batavia mengutus Pastor Carolus Wenneker, SJ ke Medan. Dia menjadi pastor pertama yang menginjakkan kaki di Medan. Huub Boellaars mencatat bahwa pada tahun 1878 pertama kali didirikan paroki. Sekitar tiga ratus anggota paroki terdiri dari orang-orang Belanda, Inggris, dan Prancis.
Pastor Wenneker, SJ datang ke Medan dan menemukan kota yang sudah berkembang cukup pesat. Di beberapa tempat gedung-gedung terus dibangun. Pertama-tama yang dia lakukan adalah mencari tempat atau lokasi yang paling tepat untuk memulai karya misi di Medan. Dia memilih Jalan Pemuda yang waktu itu bernama Paleisweg (Jalan Istana) sebagai titik awal. Di sana dia mendirikan bangunan yang kemudian dijadikan gereja Katolik Medan. Kemudian dia belajar bahasa yang dipakai oleh orang-orang India dan bahasa Batak. Dia memberi perhatian khusus kepada orang India seraya menyelidiki kemungkinan misi di antara orang-orang Batak.
Oleh karena Jesuit harus melayani banyak tempat di seluruh Indonesia, maka Pastor Wenneker, SJ dibiarkan sendiri melayani. Pimpinan Jesuit tidak mengirimkan teman baginya. Namun demikian, Pastor Wenneker, SJ tidak berkecil hati. Dia memberi perhatian kepada orang-orang Hokkian yang ada di Medan. Dia juga sesekali mengunjungi kuil-kuil Cina di daerah Pulau Bangka. Karya yang sedemikian luas membutuhkan tenaga ekstra.Ternyata, banyak juga orang Eropa yang datang ke Medan untuk mencari dan menemukan harta. Ada yang dengan sengaja diutus oleh Pemerintah Hinda Belanda dan perusahaan-perusahaan. Ada juga yang datang sendiri dengan tujuan bertualang. Karena mereka mempunyai beragam motivasi, kehadiran orang-orang Eropa memunculkan satu tantangan di bidang misi. Pastor Wenneker, SJ berusaha mengadakan pendekatan dengan orang-orang Eropa yang beragama Katolik. Dia mengumpulkan mereka. Memang tidak banyak jumlahnya. Di tengah kenikmatan yang dirasakan di daerah kolonial, Pastor Wenneker, SJ mengajak mereka ke gereja. Akan tetapi, tidaklah mudah untuk mentobatkan mereka.
Pada tanggal 20 Desember 1880 Pastor Claesens, SJ mengajukan permohonan baru untuk bermisi di sebelah timur Danau Toba dengan berangkat dari Bandar Pulau, Asahan. Namun, situasi saat itu cukup genting terutama karena Sultan Deli menyewakan tanah-tanah di daerah Deli dan Serdang tetapi sesungguhnya milik Batak. Perusahaan Belanda tentu saja senang dengan keputusan Sultan Deli. Tak berapa lama kemudian bulan Oktober 1881 pemerintah Belanda mengijinkan pendirian stasi di Bandar Pulau di bawah pemerintah residen Medan dan dengan catatan tidak boleh bekerja di daerah orang-orang Kristen Protestan. Pastor Wenneker, SJ menghadapi semua itu dengan gigih sampai akhirnya dipindahkan ke Jawa pada tahun 1884.
Setelah Pastor Wenneker, SJ pergi, selama 8 tahun tidak ada pastor di Medan. Sejak tahun 1892-1898, 3 orang pastor berturut-turut mengurus umat Katolik di Medan. Tahun 1898-1903 stasi di Medan kosong lagi. Pada tahun 1903 Pastor Jos Frencken, SJ diangkat menajdi pastor di Medan. Dia bertugas di Medan sampai tahun 1909. Tak berapa lama kemudian dia harus kembali ke Negeri Belanda karena sakit. Namun demikian, Pastor Frencken sempat membangun pastoran dan gereja di Medan. Sesudah itu, stasi Medan kosong lagi tanpa dilayani pastor karena kekurangan tenaga misionaris. Akhirnya, misi diserahkan dari Serikat Yesus kepada Ordo Kapusin pada tahun 1912.
Sekalipun sudah tinggal di Batavia, Pastor Wenneker, SJ tidak memutus kontak dengan orang-orang Katolik di kota Medan. Tahun 1913 pastor ini masih terus mempelajari bahasa Batak dan memberi pelajaran Katolik kepada dua belas orang Batak yang ada di Jakarta. Dia menjalin hubungan dengan para perantau dari Medan. Semasa berada di Medan, ternyata Pastor Wenneker, SJ mempunyai sahabat yang bersedia membantunya untuk menerjemahkan Katekismus Agama Katolik ke dalam Bahasa Batak. Dia bukan orang Katolik tetapi mau diajak bekerjasama. Pengetahuannya tentang Katolik masih sangat terbatas. Akibatnya, hasil terjemahan itu memiliki banyak kesalahan sehingga segera ditarik dari peredaran.
Pada masa itu sudah ada 5 stasi di Sumatera meliputi: Padang, Kota Raja, Medan, Sungai Selan, dan Tanjung Sakti.Tahun 1911 umat di lima stasi sudah berjumlah sekitar 5.000 jiwa. Dari tahun 1912-1921 ada sebanyak 20 orang Kapusin yang diutus ke Sumatera. Pucuk pimpinan Gereja di Sumatera diserahkan kepada Mgr. Liberatus Cluts yang sudah berusia 57 tahun. Perang Dunia I sedang berkecamuk pada masa itu. Akibatnya, keadaaan ekonomi sangat buruk dan banyak bangunan yang rusak parah. Orang-orang Eropa yang masih ada di perkebunan, kantor dan tangsi militer mempunyai kehidupan keagamaan yang tidak jelas. Para misionaris menjadi kikuk karena harus berhadapan dengan mereka di tanah misi. Selain itu, misionaris-misionaris tidak dipersiapkan secara khusus untuk melayani orang-orang pribumi dengan segala budaya dan adat istiadat mereka. Dengan keterbatasan tenaga yang ada, akhirnya Mgr. Liberatus Cluts mengutus pastor ke Medan.
Pastor Kapusin pertama yang berkarya di Medan adalah Pastor Camillus A. Buil. Dia lahir tahun 1877 dan ditahbiskan pada tahun 1903. Sebelum masuk ke Sumatera, dia aktif melayani di Kalimantan, tepatnya di Laham antara tahun 1903 dan 1912. Dia tiba di Medan pada bulan Juni 1912. Pada waktu itu dia mengubah kebiasaan Kapusin dengan gaya imam diosesan karena dia berpikir bahwa lebih tepatlah mengikuti trend pada zaman itu dalam penggembalaan. Pastoran dilengkapinya dengan kebutuhan-kebutuhan yang paling penting bagi orang kaya. Dia juga menyediakan minuman beralkohol di pastoran. Dia menjalani hidup dengan penuh kenikamtan dan bergaul dengan orang-orang kolonial. Beberapa saudara Kapusin menegur cara hidupnya dan akhirnya dia meninggalkan misi pada tahun 1915 serta keluar dari imamat setelah pulang ke Belanda.
Pengganti dari Pastor Camillus adalah Pastor Dionysius Pessers. Dia lahir di Tilburg pada tahun 1861 dan menjadi misionaris di Sumatera tahun 1913-1931. Sepeninggal Pastor Camillus, situasi pastoral di Medan sangat mengecewakan. Komunikasi antara pastor dengan para kolonialis sangat sulit. Dia sampai ke Medan lalu menggunakan pendekatan yang berbeda dengan pendahulunya. Dia menjalani gaya hidup orang Katolik ortodoks. Dia berpendapat bahwa aturan-aturan moral harus dipertahankan secara ketat. Dia berkotbah dengan tajam dan keras, kemudian mengambil jarak dengan “pendosa”. Dalam masalah peribadatan dia tidak kenal kompromi. Setiap orang yang tidak setuju dengan ajaran ortodoksnya dicela dan diberi label sebagai orang kafir atau bidat. Akibatnya, orang-orang tidak datang lagi ke gereja. Dia juga menulis surat kepada Superiornya di Belanda agar orang-orang Katolik tidak pergi ke pantai Timur Sumatera karena bahaya akan kehilangan iman.
Sikapnya yang keras dan tidak memahami konteks Sumatera Timur, membuat dia tidak menghasilkan apa-apa. Dia menjadi frustrasi dan meminta agar dipindahkan dari Medan. Permohonannya dikabulkan. Dia dikembalikan ke Padang dan digantikan oleh Pastor Mattheus.
Pastor ketiga yang ditugaskan ke Medan adalah Pastor Mattheus de Wolf. Dia lahir tahun 1865. Pengalaman pertama di Indonesia adalah misi di Sejiram (Kalimantan) dari tahun 1908-1917. Dia tiba di Medan pada bulan September 1917. Dia mempunyai gaya pastoral yang berbeda dengan pendahulunya. Dia tidak fokus pada moralitas individu tetapi menekankan perubahan sosial dalam misi. Dia membela hak setiap orang untuk menikah, termasuk antara pegawai pemerintah Belanda dengan orang-orang Indonesia dan Cina. Dia juga menggagas ide tentang Hari Minggu sebagai Hari Libur, di samping praktek-praktek umum dalam misi untuk memutuskan bahwa hanya hari pertama dan hari keenambelas setiap bulan dijadikan sebagai hari libur. Pada tahun 1926 dia dipindahkan ke Sawah Lunto dan bertugas di sana sampai tahun 1929. Dia pernah bertugas di Berastagi sekitar tahun 1941 pada masa Perang Dunia II dan mengalami masa-masa sulit penjajahan Jepang. Dia meninggal pada1950. Menurut catatan sejarah, Pastor Mattheus pernah sama-sama melayani umat di stasi Medan bersama dengan Pastor Rupertus Verbrugge, OFMCap. Memang, tidak banyak cerita tentang Pastor Rupertus karena dia hanya empat tahun bertugas di Medan (1924-1928).
Pada tanggal 11 April 1921 Mathias Brans diangkat menjadi Superior Regularis Kapusin Sumatera dan pada tanggal 20 Juli 1921 diangkat menjadi Prefek Apostolik Sumatera untuk menggantikan Mgr. Liberatus Cluts. Dia baru 8 bulan di daerah misi. Namun demikian, tugas baru menuntut dia untuk segera beradaptasi dan mengadakan kunjungan ke beberapa stasi. Pekerjaan pertama yang dilakukannya alah pembagian daerah misi di Sumatera. Prefektur Padang diserahkan kepada Kapusin. Prefektur Bangka dan Belitung diserahkan kepada SSCC, Prefektur Bengkulu (kemudian menjadi Palembang) diserahkan kepada SCJ. Masing-masing prefektur dikelola oleh ordo. Prefektur Padang dibagi atas tiga stasi: Padang, Medan, dan Kota Raja (Aceh).
Sampai tahun 1918 orang-orang Katolik di Medan hanya mempunyai satu gereja dan rumah pastor. Tidak ada sekolah. Hal ini sangat berbeda dengan beberapa tempat yang menunjukkan identitas kekatolikan. Gereja dibangun di atas tanah yang ditempatkan secara terpusat. Tahun 1918 otoritas setempat ingin menggunakan sebagian dari tanah itu untuk beragam kegiatan dalam rencana pengembangan tata kota. Ancaman eksternal ini mendorong para misionaris untuk memulai sekolah berbahasa Belanda yang cukup prestisius di lokasi yang sangat strategis. Sekitar tahun 1923, berdirilah sekolah Katolik pertama di Medan yaitu sekolah yang dirintis oleh Kongregasi Suster Dongen (SFD). Pada awalnya sekolah ini hanya mempunyai 32 orang murid. Lama-kelamaan jumlah semakin bertambah hingga 250 orang.
Pada tahun yang sama, sekolah itu harus menghadapi persaingan dengan sekolah-sekolah serupa yang dikelola gereja Protestan dan oleh Freemasons. Tetapi pada akhirnya sekolah itu mempunyai siswa-siswi dari kalangan orang Eropa dan orang Eurasia. Pada tahun 1926 suster-suster (SFD) mendirikan asrama yang membuka kessempatan kepada orang-orang Batak untuk masuk. Namun, pendirian asrama itu ternyata kurang mendapat dukungan sehingga tidak berkembang.
Selain di bidang pendidikan, Mgr Brans meminta tenaga Suster-suster Fransiskanes Santa Elisabeth datang dari Breda (Belanda) untuk berkarya di Indonesia. Mereka tiba di Medan dan untuk sementara tinggal di Jalan Wasir (Jl. Sugiyono sekarang). Kemudian, mereka membeli sebuah rumah di Jalan Padang Bulan (Jl. S. Parman sekarang). Rumah baru itu digunakan sebagai biara dan tempat penampungan bagi orang-orang sakit. Inilah cikal bakal pendirian Rumah Sakit St. Elisabeth di daerah Polonia. Daerah itu dilihat sangat strategis dan memiliki lahan yang sangat luas. Peletakan batu pertama diadakan pada tanggal 11 Februari 1929 dan selesai pada bulan November 1930. Sejak saat itu para suster tinggal di komplek rumah sakit dan menjadikan susteran di sana sebagai biara induk.
Komunitas Katolik perlahan-lahan dibagi-bagi. Tidak ada maksud untuk membuat pemisahan warna kulit, tetapi demi kepentingan pelayanan pastoral. Selain gereja untuk “orang Eropa” yang didirikan di Paleisweg, ada gereja Tamil yang didirikan untuk orang-oranta Tamil yang bekerja sebagai buruh di perkebunan milik keluarga orang Perancis. Keluarga yang paling terkenal adalah keluarga De Guigne (di Sungai Sikambing). Mereka meninggalkan Sumatera pada tahun 1898. Ada juga sekolah Katolik khusus untuk orang Tamil. Sekolah ini ditutup pada bulan Maret 1924 karena menurunnya populasi orang Tamil di Medan.
Pelayanan kepada orang-orang Cina yang ada di Medan terus ditingkatkan. Pusat kegiatan religius dan pendidikan juga difokuskan kepada orang-orang Cina Katolik. Untuk itu, didirikan sebagai gereja Katolik di Hakkastraat pada tahun 1934 (sekarang Gereja Kristus Raja di Jalan Merapi). Gereja itu sangat dekat dengan pasar Cina dan dikelilingi oleh sekolah-sekolah dasar dan menengah yang menjadi awal dari paroki orang Cina. Pada awal tahun 1920-an sekolah itu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dengan menggunakan kurikulum Malaysia. Di samping itu, kemudian didirikan sekolah-sekolah berbahasa Belanda yang dikelola oleh para bruder dan suster. Pastor parokinya adalah Pastor Marcellinus Simons. Dia lahir di Nijmegen pada tahun 1889. Dia menjadi misionaris di Sumatera selama 29 tahun (1918-1947). Dia pernah belajar bahasa Cina di Amoy dan menjadi pastor paroki sejak tahun 1924-1942.
Sepulang dari Cina, Pastor Marcellinus mulai mengumpulkan orang-orang Cina Katolik. Awalnya dia hanya mendapatkan 30 orang. Setelah orang-orang Cina mengetahui bahwa dia bisa berbahasa Cina, akhirnya semakin banyak orang Cina yang mau dibaptis. Pada tahun 1936 ada sekitar 300 orang Cina di Medan. Mereka ikut bergabung dengan orang-orang Eropa pada hari Minggu di gereja Paleisweg. Akhirnya, pada tahun 1934 gereja Katolik Cina di Jl. Nusantara selesai dibangun.
Selain itu, Mgr. Brans memperluas karya pelayanan hingga Kota Raja (Banda Aceh), Tanjung Balai, dan Bagan Siapiapi. Gereja di Kota Raja didirikan pada tahun 1928. Pastor Marinus Spanjers diutus ke Tanjung Balai pada tahun 1926 untuk membuka stasi dan sekolah. Tak berapa lama kemudian Pastor Marinus ditarik kembali ke Medan untuk bekerja di tengah-tengah orang Batak. Pada tahun 1943 Pastor Marinus meninggal dunia di kamp Jepang.
Pada tahun 1941 Roma memutuskan untuk memindahkan tahkta Vikariat Apostolik dari Padang ke Medan. Keputusan itu baru dapat diumumkan dan dilaksanakan sesudah perang dunia II selesai. Mgr. Brans pindah dari Padang ke Medan pada tanggal 3 Januari 1946. Pada tahun 1955 Ferrerius van den Hurk diangkat menjadi pimpinan Vikariat Apostolik menggantikan Mgr. Mathias Brans. Mgr. Brans kembali ke Propinsi Belanda setelah memimpin misi Sumatera selama 35 tahun.
Pada tahun 1961 Hirarki Indonesia resmi didirikan. Vikariat Apostolik medan menjadi Keuskupan Agung Medan. Harapannya adalah Gereja Indonesia menjadi dewasa dan mandiri. Bagi KAM keputusan ini sungguh merupakan langkah yang berani dan menantang. Pada waktu itu umat di KAM berjumlah 94.433 orang. Semua imam yang berkarya berasal dari Ordo Kapusin: 52 orang Belanda dan 1 orang Indonesia. Waktu itu belum ada satu pun imam diosesan atau pun calon-calon imam diosesan. Peralihan dari ius commisionis ke ius mandati tidak berjalan dengan mulus. Dalam bidang finasinsial pun KAM bergantung kepada Propinsi Kapusin Belanda. Pembangunan gereja, aula dan pastoran didanai oleh luar negeri. Bahkan, biaya penghidupan para tenaga pastoral diminta kepada Propinsi Kapusin Belanda. Dengan kata lain, kehidupan imam dan umat di KAM masih memprihatinkan pada masa itu.
Mgr. van den Hurk berusaha mencari tenaga-tenaga imam selain imam Kapusin. Tahun 1963 imam-imam dari Swiss didatangkan. Propinsi Kapusin Belanda masih mengirim tenaga imam sebanyak 12 orang dari 1963-1972. Pada tahun 1965 imam-imam Karmelit masuk ke Medan. Pada tahun 1966 imam-imam Konventual dari Italia ikut berkontribusi. Pada tahun 1974 imam-imam PME Canada hadir di Medan dan tahun 1974 imam-imam Serikat Xaverian terlibat. Inilah menjadi cikal bakal keragaman tarekat yang melayani di KAM. Berbagai cara ditempuh untuk membangun kemandirian di tengah umat termasuk memberlakukan dana mandiri Gereja (damang).
Tahun 1964 imam pribumi pertama ditahbiskan yaitu Pastor Pius Datubara, OFMCap. Tak berapa lama kemudian pada tahun 1975 pucuk pimpinan Keuskupan Agung Medan diserahkan kepada Mgr. A.G. Pius Datubara, OFMCap. untuk menggantikan Mgr. Ferrerius van den Hurk, OFMCap. Kala itu, jumlah umat Katolik sudah mencapai 235.451 orang, dengan 94 orang imam dan 36 orang calon imam. Para imam itu terdiri dari berbagai tarekat: Kapusin, Karmelit, Konventual, PME, Jesuit.
Perkembangan jumlah umat Katolik di KAM tergolong sangat pesat. Demikian juga umat di Paroki Katedral. Ada sejumlah imam pribumi yang pernah berkarya di Paroki Katedral hingga sekarang: Pastor Pius Datubara, OFMCap. (1968-1974), Pastor Hubertus Tamba, OFMCap. (1974-1975), Pastor Gabriel Lumbantobing, OFMCap. (1980-1987), Pastor Johannes Simamora, OFMCap. (1981-1985), Pastor Marcelinus Manalu, OFMCap. (1982-1986), Pastor Timotheus Sinaga, OFMCap. (1984-1986), Pastor Hubertus Tamba, OFMCap. (1986-1990), Pastor Joseph Rajagukguk, OFMCap. (1990-1998), Pastor Frietz R. Tambunan, Pr. (1997-1998), Pastor Murdi Susanto, Pr. (1999-2002), Pastor Sebastianus Eka BS., Pr (2002-2004), Pastor Benno Ola Tage, Pr. (2005-2011), Pastor Sebastianus Eka BS., Pr. (2012-2016), Pastor Sesarius Petrus Mau, Pr. (2016- sampai sekarang).
Reksa pastoral di Paroki Katedral yang awalnya dipercayakan kepada imam-imam Kapusin akhirnya diserahkan kepada imam-imam diosesan pada tahun 1997. Selama kurun waktu 22 tahun penggembalaan telah dijalankan imam-imam diosesan hingga sekarang. Beberapa perubahan telah dilakukan dari waktu ke waktu untuk pelayanan yang lebih baik. Di usia yang ke-140 tahun, usia yang sudah sangat tua, umat bersama dengan pastor paroki dan vikaris paroki tetap berupaya untuk menghadirkan wajah Gereja Katedral sebagai Mater et Magistra (Induk dan Guru) bagi semua gereja paroki yang ada di Keuskupan Agung Medan.